Zakwan [Dongeng]

Perkenankan saya bercerita tentang sebuah kisah lama yang belum terungkap di masa kini.

Di sebuah desa yang asri, damai, tentram dan nyaman, bernama Desa Asdaten. Tinggallah seorang kakek yang bernama Hatar. Setiap hari, sebelum melakukan kegiatan kakek Hatar selalu meluangkan waktu pergi ke makam istrinya. 

Kakek Hatar dikenal oleh warga desa, sebagai orang yang ramah, baik, dan mandiri. Tidak banyak kakek yang berusia seperti kakek Hatar yang masih melakukan kegiatan sendiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, karena bagi kakek Hatar jika ia masih mampu kenapa meminta bantuan orang lain.
source pinterest

Suatu hari, ketika matahari belum menunjukkan rupanya, kakek Hatar dibangunkan oleh suara tangisan bayi. Kakek Hatar beranjak dari tempat tidur, menuju ke dapur, meminum air putih segelas, seperti biasa. Namun, suara tangisan bayi itu belum juga hilang, Kakek Hatar mengira itu adalah tangisan Akra, anak tetangga sebelahnya. Tangisan itu semangkin kencang, setelah didengar lebih jelas lagi suara tangisan bayi itu berasal dari depan rumah kakek Hatar. Segera kakek Hatar berlari ke depan dengan stamina yang ia miliki. Ternyata dugaannya benar. Seorang bayi laki-laki tergeletak di depan pintunya, di dalam sebuah wadah bayi, berbalut kain merah, ada sebuah buku yang terselip di antaran kain merah yang memyelimutinya. Betapa terkejutnya kakek Hatar dan membawa bayi lelaki itu ke dalam rumahnya

Kakek Hatar mencoba menenangkan bayi tersebut, tetapi tetap saja bayi itu menangis. Karena kakek Hatar dan istrinya tidak memiliki anak, membuat kakek Hatar tidak tahu bagaimana mengurusi seorang bayi. Tapi ada satu hal yang kakek Hatar tahu, bahwa setiap bayi harus mendapatkan ASI. 

Kakek Hatar membawa bayi lelaki itu ke tetangga sebelah rumahnya, mungkin Ibu Akra bisa memberikan ASI untuk bayi yang baru saja ia temukan. Kakek Hatar mengetuk pintu tapi tidak ada seorang pun yang membuka tapi suara dari dalam menyuruhnya untuk masuk. 

Kakek Hatar masuk dan mencari sumber suara tadi berasal dan menemukan seseorang yang ia butuhkan.

"Ibu Akra, bisakah kau menolong bayi ini, ia kelaparan." ucap Kakek Hatar.

Wanda, Ibu Akra terkejut menatap kakek Hatar yang sedang menggendong bayi, segera Wanda mengambil bayi itu dari kakek Hatar. 

"Berikan kepadaku." pinta Wanda. Mengulurkan tangan, menyambut bayi lelaki. Dan membawa bayi itu ke pelukannya, lalu ke kamarnya.

Kakek Hatar menunggu dengan muka cemas, gusar dan berbagai perasaan lainnya, tidak lama kemudian suami Wanda, Zou keluar, menemani kakek Hatar. 

"Kakek Hatar, di mana kau menemukan bayi itu?" tanya Zou.

"Tadi aku bangun oleh suara tangisan bayi, kukira itu adalah tangisan Akra tetapi setelah aku dengar lebih jelas lagi, suara tangisan itu berasal dari depan rumahku, aku ke depan dan menemuinya." ujar Kakek Hatar. Wajahnya mulai tampak lega karena tangisan bayi sudah tidak terdengar lagi karena telah mendapatkan apa yang dibutuhkan.

"Jadi apa tindakkanmu selanjutnya kakek Hatar?"

"Aku tidak tahu siapa yang tega membuang bayi itu, aku ingin membesarkannya. Bisakah kalian membantu membesarkan bayi itu?" 

"Tentu saja, Kakek Hatar, dengan senang kami akan membantu." Jawab Zou. Zou tidak tega menolak permintaan Kakek Hatar karena selama ini Kakek Hatar telah banyak membantu keluarganya, lagian dengan adanya bayi itu juga akan menjadi teman anaknya. 

Wanda ikut bergabung setelah urusannya dengan bayi selesai.

"Kakek Hatar, mau dinamakan siapa bayi lelaki ini?" tanya Wanda. Memposisikan dirinya disamping suaminya, dan bayi masih dalam lengannya.

"Dahulu, aku dan istri menginginkan seorang anak lelaki dan akan di beri nama Kamga. Jadi biarkan bayi lelaki itu yang memiliki nama itu." 

Bayi lelaki yang baru diberi nama Kamga itu begitu tenang di dalam pelukkan kakek Hatar setelah ia mendapatkan asupan energi. Kakek Hatar bisa mendengarkan suara dengkuran halus dan tenang dari manusia baru ini. 

***

Delapan tahun kemudian.

Akra dan Kamga tubuh menjadi anak yang sehat, cerdas dan kuat. Mereka selalu bersama walau terkadang ada pertengkaran antara mereka berdua, namun itu tidak berlangsung lama. Hanya membutuhkan waktu dua jam mereka akan kembali main bersama lagi. 

Setiap hari Akra dan Kamga membantu Wanda, Zou dan Kakek Hatar. Kakek Hatar mengajarkan mereka ilmu beladiri yang ia miliki. Selain itu, Zou juga mengajarkan mereka berburu dan bertanggung jawab. Saat ini, usia mereka telah delapan tahun, mereka telah diizinkan berburu ke hutan tanpa ditemani oleh orang dewasa. 

Suatu ketika, Akra dan Kamga berburu ke hutan bersama teman-temannya yang lain. Akra menemukan sebuah jejak jalan setapak yang belum pernah ia susuri. Akra yang memiliki rasa penasaran yang sangat tinggi, membuat ia mengikuti jalan setapak tersebut, meninggalkan teman-temannya. 

tree

Pohon-pohon besar yang menjulang tinggi mengiringinya setiap ia melangkah, mengikut setiap jejak. Walaupun Akra mendengar suara aneh-aneh, ia tetap meneruskan jalannya, terkadang ia harus membersihkan semak-semak belukar yang menghalanginya.  Hingga Akra sampai pada titik di mana semak-semak itu tidak bisa lagi ia tebas sendiri. Karena haripun mulai gelap. Akra berbalik arah, kembali ke teman-temannya. Besok ia akan kembali ke sini, mengajak Kamga.

Akra sudah berada di tempat ia berpisah dari teman-temannya, mengintai sekitar pepohonan rindang tapi ia tidak melihat teman-temannya, mungkin mereka telah pulang ke desa, pikir Akra. Namun, ada suara yang memanggil-manggil namanya. Ternyata yang memanggilnya adalah Kamga.

"Dari mana saja kamu? Yang lain sudah pada pulang." Cecar Kamga ketika menemukan Akra.

"Sudahlah, nanti aku ceritakan. Mari kita pulang sebelum hari benar-benar gelap." Kata Akra santai seolah ia tidak dikhawatirkan.

Kamga sudah menahan kesal, dan mengiyakan saja ajakan Akra. Kamga sangat mengkhawatirkan Akra, ia tidak tahu apa yang akan ia katakan kepada Ibu Wanda dan Ayah Zou jika ia pulang tidak bersama Akra. Jadi setelah teman-temannya pulang, Kamga tetap menunggu Akra di tempat  ia terakhir melihat Akra dan beruntung Akra kembali. Tapi Akra tidak menyadari hal itu.

***
Kamga dan Akra

Langit malam ditumpahi bintang-bintang kecil yang berpijar, ditemani cahaya bulan yang memiliki lingkaran  sempurna, suara-suara jangkrik saling bersautan, menyambut malam yang indah. Kamga dan Akra duduk dibawah pohon tempat mereka biasa berbagi cerita atau sekedar istrirahat. Ada beberapa kursi yang terbuat dari kayu, tertata tapi memutari pohon, sebuah meja melingkari pohon itu, Zou membuatkannya karena Kamga dan Akra suka sekali berteduh di pohon besar, tinggi, dan memiliki daun yang rimbun tersebut. Tempat itu mereka beri nama AkkaZone (Akra, Kamga, Zone).

Ketika Kamga meminta ke AkkaZone di malam hari berarti ada pembicaraan penting di antara mereka. 

"Kamga, kenapa kamu memintaku ke sini? Ada hal apa yang ingin kamu ceritakan?" sergah Akra di tengah ketenangan malam.

"Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan padamu, tapi sebelumnya aku mau mendengarkan ceritamu." Tuntut Kamga, karena sepanjang pulang dari berburu hingga makan malam di rumah Akra, ibu Wanda mengajak Kakek Hatar dan Kamga makan malam di rumahnya. Akra belum menceritakan ke mana ia pergi ketika yang lain sedang berburu, ia janjikan kepada Kamga sebelum keluar hutan.

"Akra, ceritakan cepat." Bentak Kamga. Kesal, menunggu Akra belum juga mengucapkan satu katapun. 

Akra mengubah posisinya, duduk di atas meja menghadap sungai yang mengalir dengan tenang, menyandarkan punggungnya ke pohon.

"Jadi seperti ini, ketika kita sedang berburu aku melihat ada jalan yang tidak biasa kita lalui, kemudian aku mengikuti jalan itu." Jelas Akra.

"Lalu, apa yang kau dapatkan?" cecar Kamga.

"Aku belum menemukan apa-apa tapi aku yakin ada sesuatu di ujung jalan itu. Ada semak belukar yang menghalangi jalanku, aku tidak bisa membereskannya karena sudah sore. Besok, maukah kamu temaniku pergi ke jalan itu lagi?" mohon Akra.

"Kenapa aku harus menemanimu?" Gumam Kamga. Mengerutkan keningnya.

"Karena cuma kamu bisa menemaniku, ayolah, kamga... Kita akan menemukan sesuatu yang mungkin tidak akan pernah bisa dilupakan sepanjang hidup kita." 

"Baiklah, aku akan menemanimu tapi ada satu syarat" memutar kepala, melirik sahabatnya. 

"Masa, sama sahabat sendiri ada syaratnya." Keluh Akra.

"Ya sudah, kalau kamu tidak mau." sahut Kamga.

"Apa syaratnya?" ucap Akra akhirnya.

"Kakek Hatar belum menceritakan tentang siapa sebenarnya diriku, di mana orang tuaku. Asalku dari mana. Aku memintamu menanyakan hal ini ke Ibu Wanda atau Ayah Zou." Ungkap Kamga. Membaringkan tubuhnya, manarik tangannya untuk dijadikan bantal sebagai tumpuhan kepalanya.

"Baiklah, akan kutanyakan nanti.  Tadi kamu bila ada yang ingin kamu ceritakan, lalu apa cerita yang akan kamu sampaikan padaku?" tanya Akra yang masih menatap langit malam, sinar bulan menerpa wajahnya.

"Aku takut, kakek Hatar beberapa hari ini, mengeluh sakit di dadanya. Oleh karena itu, aku memintamu menanyakan itu pada orang tuamu, jika kakek Hatar tidak sempat mengatakannya. Sekarang ini, aku enggan meminta penjelasan dari kakek Hatar, takut penyakitnya semakin parah. Aku sudah sangat bersyukur Kakek Hatar telah mengurusiku." ungkap Kamga.

"Tenanglah Kamga, kakek Hatar tidak akan kenapa-kenapa, lihat saja ia masih bisa melakukan pekerjaannya." 

"Walaupun seperti itu tetap saja, usianya tidak bisa dibohongi, Akra." Gumam Kamga. Bangkit dari kursi.

"Sudah malam, nanti kakek Hatar khawatir. Ayo, kita pulang." Ajak Kamga. 

***

Keesokannya, setelah mereka berlatih beladiri. Akra dan Kamga pergi berburu tapi kali ini mereka tidak bersama teman-temannya. Hanya mereka berdua. Meski Kamga belum menerima jawaban dari Akra tentang dirinya, yang seharusnya ditanyakann oleh Akra pada orang tuanya sebagai syarat Kamga ikut Akra pergi ke jalan itu. Kamga memaklumi sifat Akra yang suka lupa dan Kamga mengikuti kemauan Akra.

Akra dan Kamga memasuki hujan berjalan menuju jalan setapak itu, ketika telah sampai, Akra mendahului yang diikuti Kamga di belakangnya. Perjalanan ini lebih cepat dari sebelumnya karena sebagian semak-semak yang menghalangi jalan mereka telah dibersihkan oleh Akra.

"Akra, apa kau mendengar suara itu?" tanya kamga di tengah perjalanan mereka.

"Iya, biarkan saja. Kemarin aku juga mendengarkanya." Sahut Akra, terus melangkah maju.

"Kamu yakin?" ucap Kamga lirih.

"Tidak apa-apa, buktinya kemarin aku selamat." Jawab Akra skeptis. Akra juga mendengar suara-suara aneh ketika melewati jalan setapak ini, tapi kali ini suara itu semakin keras dan nyaring.

Mereka terus menyusuri jalan setapak yang dilindung oleh pohon-pohon yang menjulang tinggi dari sengatan matahari. Hingga suara-suara aneh itu tidak terdengar lagi. Akra dan Kamga sampai di titik akhir jalan yang pernah dijejaki oleh Akra kemarin. Kamga mengeluarkan peralatannya membuka jalur untuk mereka jalani. Akra juga melakukan hal yang sama.

Setelah semak-semak itu tidak menghalangi jalan Akra dan Kamga, mereka meneruskan perjalanan dan bertemu dengan sebuah persimpangan. Akra memilih jalan yang mengarah barat, Kamga mengikuti saja. Di ujung jalan mereka menemukan sebuah portal yang sudah dijalari semak-semak dan berbagai tumbuhan yang menjalar. Menjadi sebuah kejutan bagi mereka berdua menemukan portal di tengah hutan yang padat pepohonan.

Kamga tidak mau masuk ke dalam portal tersebut, dan memilih balik ke Desa Asdaten. Akra pun menyetujui untuk pulang saja. 

Seminggu kemudian, Akra masih penasaran ada apa di dalam portal tersebut. Ia ingin membujuk Kamga kembali, setelah Akra menanyakan hal tentang Kamga kepada ibunya. Suatu sore, saat Wanda menyusui adik Akra, 

"Ibu, apa ibu tahu tentang Kamga?" tanya Akra. 

"Kenapa kamu menanyakan hal itu?" Wanda menatap anak lelakinya.

"Aku diminta oleh Kamga menanyakan ini." Jawab Akra.

"Untuk ini, ibu tidak bisa menjawabnya. Biarkan Kakek Hatar yang menjelaskan pada Kamga sendiri, karena menurut ibu Kakek Hatarlah orang yang tepat menyampaikannya." Ucap ibunya.

"Apa orang tua Kamga sudah meninggal?" tanya Akra.

"Ibu juga tidak tahu."

Kemudian Akra tidak menanyakan lagi. Akra pamit kepada ibunya, pergi ke rumah Kakek Hatar untuk bertemu Kamga.

Akra memanggil-manggil Kamga dari luar tetapi tidak ada sahutan. Akra memutuskan masuk ke dalam rumah Kakek Hatar, dan sorotan mata Akra tertuju pada Kakek Hatar yang terbaring lemah di atas dipan. Hidungnya mencium dedaun yang direbus.

Dari balik tirai yang menjadi pembatas ruangan, Kamga terlihat membawa secangkir minuman yang berisi obat ramuan. 

"Sejak kapan Kakek Hatar sakit?" tanya Akra, membantu membawa minum untuk kakek Hatar.

"Saat aku masuk rumah setelah kita mandi dari sungai tadi, Kakek Hatar sudah terbaring di atas dipan, lalu memintaku untuk merebuskan ini." Jawab Kamga, "Kakek, minumlah." Ujar Kamga. Membantu kakek Hatar bersandar.

"Kek, sebaiknya aku panggilkan tabib saja." Ucap Akra sambil memijiti kaki kakek Hatar.

"Tidak usah, besok palingan sudah baikan." Tolak kakek Hatar.

"Ada apa kamu kemari, Akra?" tanya Kamga. Meletakkan kembali gelas ke atas nampan.

"Tidak apa-apa, hanya mengajakmu keluar sebentar, tapi sepertinya kakek Hatar lebih membutuhkanmu." ujar Akra. Melirik Kakek Hatar yang kembali berbaring.

"Jika kalian ingin keluar, pergilah. Aku sudah tidak apa-apa, hanya butuh istirahat. Kalau kalian berbicara di sini malah menganggu tidurku." kata Kakek Hatar menyindir, mengusir secara halus dua pemuda cilik di dekatnya.

Akra tersenyum cengir, memperlihatkan gigi rapinya, ketika mendengar kakek Hatar, lalu berdiri, beranjak dari dipan tempat kakek Hatar berbaring. 

"Kakek, aku keluar sebentar bersama Akra." Pamit Kamga yang dibalas anggukkan oleh Kakek Hatar.

Seperti biasa, dua pemuda cilik itu pergi ke AkkaZone. Tempat yang telah menjadi markas mereka. 

***

Matahari telah menyongsong tinggi tapi Kakek Hatar masih saja terbaring di atas dipan. Biasanya, Kakek Hatar setiap pagi akan mengajarkan anak-anak desa beladiri tetapi hari ini tidak, ia meminta  Paman Tracie, salah satu anak didiknya, menggantikannya untuk sementara waktu.

Beberapa hari kemudian belum ada tampak Kakek Hatar akan sembuh. Kamga telah meminta beberapa tabib untuk mengobati Kakek Hatar tapi belum ada yang sanggup menyembuhkan penyakit kakek Hatar. 

Dan sudah beberapa hari itu, Kamga tidak ikut berburu bersama Akra. Akra pergi berburu bermasa teman-temannya yang lain, namun ketika ia sampai pada jalan menuju portal, Akra memisahkan diri dari rombongan. Hari-hari sebelumnya Akra hanya melihat portal tersebut, tapi tidak untuk hari ini. Akra telah mengumpulkan keberanian untuk masuk ke dalam portal.

Akra menjelajahi pemandangannya ke setiap inci portal, melangkah masuk berlahan-lahan. Mengangkat kaki teratur lalu mengembalikan ke bumi sepelan mungkin seakan tidak mau mengganggu makhluk lainnya, dan malah membuat ia seperti pencuri yang sedang mengintai-intai barang curian. Setelah memastikan tidak ada apa-apa, Akra terus masuk. Sepuluh langkah ia menjauh dari portal, Akra memusatkan penglihatan ke tumbuhan yang menjalar di depanya seperti menutupi sesuatu. Akra semakin dekat, namun kakinya seperti menginjak sesuatu.

Secara tiba-tiba tumbuhan jalar bergerak memperlihat apa yang ia sembunyikan. Dinding tinggi, terdapat pintu di tengahnya. Di pintu itu terukir seperti bunga matahari sangat besar. Di dalam bunga itu menunjukkan sebuah lambang berbentuk hexagon yang terukir begitu rapi. Tapi kemudian tumbuhan itu bergerak mendekati Akra. Akra segera sadar dari keterpukauannya, membalikkan badan, berlari menghindari kejaran tumbuhan jalar yang mau menerkamnya. Kakinya berhasil dililit oleh tumbuhan itu. Akra mengayunkan samurainya, mengarahkan ke benda yang melilit di kakinya. Namun, kaki satu lagi juga ikut terlilit. Akra berupaya untuk keluar dari lilitan itu. Dengan semurai yang ia gunakan dan beladiri yang ia pelajari, akhirnya ia berhasil keluar dari portal. Dan kembali ke desa Asdaten.

Di hari yang sama, di kediaman kakek Hatar. Kamga menunggu tabib desa tetangga yang ia panggil tadi pagi. Kabarnya ia akan datang siang ini. Kamga tampak hilir mudik di teras rumah, terkadang ia ke dalam mengecek kondisi kakek Hatar.

"Kamga..." panggil Kakek Hatar, saat Kamga sedang di dalam rumah. Kamga segera menghampiri orang yang memanggilnya.

"Kenapa, Kek? Ada yang sakit? Bagian mana yang sakit? Ada sesuatu yang kakek butuhkan? Tunggu sebentar, Kek... tabibnya akan datang." Cecar Kamga.

"Tidak ada yang sakit, aku cuma minta tolong." Jawab kakek Hatar mencoba menyandarkan punggungnya. Kamga dengan sigap menolong.

"Kakek minta tolong apa?" tanya Kamga.

"Bisa kamu, ambilkan buku di dalam laci nakas itu." ujar kakek Hatar seraya menunjuk nakas yang dimaksud.

Kamga mengeluarkan buku yang diminta kakek Hatar dari laci nakas. Buku yang kira-kira setebal 4 cm, terdapat garis-garis emas yang menghiasi covernya, terbalut oleh secarik kain merah.

Kamga memberikan buku itu pada kakek Hatar.

"Ini milikmu." Ujar kakek Hatar. Mendorong buku itu kembali ke Kamga.

"Duduklah." Pinta kakek Hatar. Kamga menuruti, duduk di kursi samping kakek Hatar.

"Selama ini, aku belum menceritakan siapa dirimu sebenarnya. Aku rasa ini adalah waktu yang tepat untuk menyampaikan kepadamu, aku merasa waktu semakin dekat."

"Jangan mengatakan seperti itu, Kek, bagiku kakek adalah orang tuaku" ujar Kamga.

"Tapi tetap saja, aku harus mengatakan ini padamu. Suatu subuh, aku terbangun oleh suara tangisan bayi, mengira itu hanyalah tangisan Akra tapi tangisan itu berasal dari kamu. Aku pergi ke depan rumah, menemukanmu dalam keranjang bayi, diselimuti dengan selembar kain merah dan buku itu terselip diantaranya." Jelas Kakek Hatar. 

"Jadi kakek tidak tahu siapa orang tuaku?" tanya Kamga, menyibak kain merah yang menyelubungi buku itu. 

"Aku tidak tahu, buku ini yang menjadi petunjuknya. Maafkan aku yang tidak mencari orang tuamu." Ucap Kakek Hatar.

"Tidak usah meminta maaf, Kek, aku justru berterimakasih kepada kakek karena telah mau menerima, membesarkan dan mengasuhku." 

"Kamu tidak marah?" tanya Kakek Hatar. Menatap mata Kamga mencari kejujuran dari matanya.

"Kenapa aku harus marah, Kek. Lagian buat apa aku mencari orang tua yang tidak menginginkanku." Kata Kamga lesuh.

"Kamga... belum tentu ia tidak menginginkanmu. Sebaiknya kamu selidiki kenapa ia meletakkanmu di depan rumahku. Bagaimanapun mereka tetap orang tuamu." Nasehat Kakek Hatar.

"Akanku pikir itu nanti, yang penting sekarang adalah kesehata kakek." 

Tidak lama kemudian, tabib yang ditunggu tiba. Tabib itu memberikan beberapa ramuan, menyuruh Kamga merebusnya setiap hari, mengingatkan Kamga bahwa ramuan tersebut harus diminum setiap pagi hari.

Setelah tabib pulang, Wanda dan Zou serta bayi perempuan, adik Akra bernama Zelna, menjenguk Kakek Hatar. Seperti biasa, tiap sore mereka selalu melihat kondisi Kakek Hatar. 

"Wanda, Zou, boleh aku meminta pertolongan kalian sekali lagi?" tanya kekak Hatar.

"Sudah tentu kami akan membantu" sahut Wanda.

"Jika aku tiada, tolong jaga Kamga." Kata Kakek Hatar.

"Sudah pasti, Kamga sudah seperti anakku sendiri." Ujar Zou. 

***

  Sudah hampir sebulan kakek Hatar tidak kunjung-kunjung sembuh. Hingga suatu pagi, cahaya matahari menerobos di selah-selah ventilasi rumah. Kamga melihat Kakek Hatar terbujur kaku, sudah tidak bernyawa lagi.

Seluruh warga desa Asdaten bersedih kehilangan sosok yang menjadi panutan, orang yang bersahaja. Di antara mereka, Kamga lah yang paling merasakan kehilangan yang mendalam, karena cuma kakek Hatar yang ia punya. Kakek Hatar dimakam bersebelahan dengan makam istrinya. 

Semenjak kakek Hatar meninggal, Kamga tidak pernah ikut berburu lagi. Ia juga sering bolos dari kelas beladiri. Seperti tidak ada hasrat hidup. Akra mencium bau yang tidak sedap dari melihat gelagat Kamga. Akra memutuskan mengajak Kamga ke AkkaZone setelah ia pulang berburu.

"Kamga... Kamga... kamu di dalam?" teriak Akra dari luar rumah.

"Masuklah" sahut Kamga.

Akra mendorong pintu, membiarkan ia masuk.  Matanya mengobservasi ruangan yang baru ia masuki tapi ia tidak menemukan sahabatnya itu.

"Kamga, kamu di mana? Sahabatmu bertemu, bukannya disambut dengan baik dan sopan." Gerutu Akra.

Sosok yang Akra cari menampakkan diri, keluar dari kamarnya.

"Ada apa?" todong Kamga.

"Ada apa kamu bilang? Seharusnya aku yang menanyai itu padamu." Kata Akra seraya menggait lengan Kamga, menyeretnya keluar, pergi ke AkkaZone.

"Lepaskan tanganku, aku bisa jalan sendiri."  Rengek Kamga.

"Aku akan lepas tapi kamu harus ikut denganku, kalau tidak. Kamu siap-siap saja menanggung resikonya." Ancam Akra.

Kamga mengangguk, Akra melepas tangan Kamga dari jarahannya, lalu membiarkan Kamga berjalan lebih dulu.

Setibanya di AkkaZone, Akra mengambil posisi di atas meja, tempat yang pas untuk ia mengintrogasi.

"Kamu kenapa, Kamga?" kata Akra. 

"Aku tidak kenapa-kenapa. Memang kenapa?" balas Kamga.

"Kamu itu sudah seperti mayat hidup" 

"Lalu kenapa kalau aku seperti mayat hidup? Tidak ada alasan lagi aku hidup." Ketus Kamga.

"Kakek Hatar, tidak cukup menjadi alasanmu untuk hidup?" tukas Akra, menatap lurus ke Kamga.

"Kakek Hatar sudah mati, meninggalkan aku." Ujar Kamga lesuh.

"Kakek Hatar tidak meninggalkanmu, ia masih tersimpan di dalam hatimu, kakek Hatar tidak akan senang melihatmu seperti ini." Jelas Akra. Menepuk punggung Kamga.

"Lalu apa yang harus aku lakukan?" ujar Kamga, memperhatikan matahari yang mulai bersembunyi diujung barat. 

"Kamu harus seperti Kamga yang dulu lagi. Bukankah Kakek Hatar memintamu untuk mencari orang tuamu?" tanya Akra, ikut duduk di samping Kamga. 

"Iya..." sahut kamga masih menatap lurus ke arah matahari terbenam.

"Kalau gitu kamu harus mencari orang tuamu dan menanyakan langsung kenapa kamu  letakkan di depan rumah Kakek Hatar." 

"Usiaku masih delapan tahun, aku tidak tahu memulainya dari mana." Kata kamga

Menurut Kamga, ia belum cukup mampu untuk mencari orang tuanya pada saat ini. Tapi Akra menawarkan diri untuk menemani Kamga mencari orang tuanya. Melalui perdebatan panjang di AkkaZone. Ditemani cahaya matahari sore hari, Kamga akhirnya menyetujui, usulan dari Akra. Mereka akan mencari orang tua Kamga, tapi sebelum itu. Dua pemuda itu terlebih dahulu meminta izin kepada Ayah Zou dan Ibu Wanda. Dan sepakat besok adalah waktu yang tepat untuk meminta izin.

***

Kamga mendapatkan energi kembali untuk menjalani hidupnya, ia bangun pagi ini dengan senyuman cerah seperti matahari yang bersinar di pagi hari, cerah dan menghangatkan. Kamga sudah berada di lapangan untuk berlatih beladiri. Paman Tracie sekarang yang menjadi pelatih beladiri anak-anak desa Asdaten termasuk Kamga dan Akra.

Paman Tracie senang, Kamga telah kembali memancarkan sinarnya. Seusai berlatih, Kamga dan Akra berlari, menuju Paman Tracie, meminta izin pamit lebih dulu. Biasanya Kamga dan Akra paling lama berlatih, mereka baru pulang ke rumah setelah matahari berada lurus di atas kepala. 

"Kamga... seperti biasa..." Akra mengedipkan matanya.  Kamga langsung mengerti maksud Akra. 

"Oke..." tantang Kamga. 

Satu... Dua... Tiga..
  Kamga dan Akra berlari pulang, berkejar-kejaran di jalanan desa hingga finish di depan rumah Kakek Hatar. Kebiasaan mereka setelah berlatih beladiri. Siapa yang kalah harus mengikuti permintaan pemenang. 

***

Wanita itu sedang menyiapkan makan siang, namun dikagetkan oleh dua pemuda cilik yang ngos-ngosan, berhamburan sambil tertawa riang, mendekatnya.

"Tumben, kalian pulang secepat ini." Ujar Wanda, yakin bahwa makhluk peganggunya adalah Akra dan Kamga.

"Hanya sudah kangen masakan, Ibu. Aku tidak kosentrasi tadi saat berlatih, terbayang masakan ibu." Kata Akra sambil mengatur nafasnya, hidung mencium wangi masakan ibunya.

"Tidak usah memuji begitu, apa yang kalian mau?" Tuding Wanda. Tahu gelagat anak lelaki itu.

"Ada yang ingin kami bicara dengan Ibu Wanda dan Ayah Zou." Akui Kamga.

"Apa yang ingin kalian bahas, kelihatan sangat penting?"

"Memang penting sekali, Ibu." Sahut Akra.

"Baiklah, tunggu ayah pulang. Setelah makan siang kita bicarakan. Sekarang, tolong bantu ibu, membawa ini." Ujar Wanda, memberikan tumpukan piring pada Akra.

Kamga sudah tidak sabar ingin menyampaikan niatnya. Setelah makan siang usai, ia dan Akra duduk menghadap Ayah Zou dan Ibu Wanda.

"Apa yang ingin sampaikan?" kata Zou, memulai perbincangan.

"Aku ingin meminta izin untuk pergi mencari orang tuaku." Kata Kamga tegas. 

"Bukannya aku tidak mengizinkanmu, itu  adalah hakmu mencari siapa orang tuamu, tapi usiamu masih belia." Ujar Zou.

"Aku juga telah berjanji pada Kakek Hatar, tidak mengizinkan kamu pergi dari desa ini hingga umur 17 tahun." Sela Wanda.

Bagi Zou, Kamga belum cukup usia untuk berpergian meski temani oleh Akra tetap saja, Akra juga seusia Kamga. Zou dan Wanda berjanji akan mengizinkan Akra dan Kamga pergi mencari orang tua Kamga setelah usia mereka tujuh belas tahun. 

Kamga dan Akra menerima alasan orang tua Akra. Mereka harus menunggu sembilan tahun lagi. Selama sembilan tahun itu Kamga dan Akra melatih kekuatan fisiknya dengan beladiri juga berburu. Hingga mereka tumbuh menjadi remaja yang paling di idolakan oleh remaja putri di desa Asdaten. Bukan hanya ketampanan fisik yang menjadi sorotan, kebaikan dan tingkah laku mereka juga membuat orang-orang di desa mengagumi dua remaja itu.

***

Usia Akra dan Kamga telah menginjak tujuh belas tahun. Sebelum pulang dari mandi sore di sungai dekat Akkazone. Kamga terduduk memandangi matahari terbenam yang menjadi hobinya dari dahulu. 

"Kamga..." Sapa seorang wanita ketika melintas di dekat Akkazone.

"Iya, ada apa Alena?" ujar Kamga.

"Orang tuaku memintamu untuk makan di rumahku nanti malam, jika kau bisa?" ucap Alena dengar suara lembutnya.

"Tentu... Apa hanya aku?" selidik Kamga, melirik sahabatnya yang bersembunyi.

"Tidak, bisakah aku meminta tolong padamu. bilang pada Akra untuk ikut makan malam di rumahku?" pinta Alena.

"Pasti... dengan senang hati aku akan melakukannya untukmu." Ucap Kamga, sambil memberikan senyuman mautnya. Alena mengangguk lalu pamit pulang.

"Akra... keluar dari tempat bersembunyianmu. Dia sudah tidak di sini lagi" ujar Kamga.

Kamga suka sekali mengganggu Akra, setiap Akra selalu bersembunyi jika bertemu Alena, atau ketika berpapasan Akra selalu menghindari kontak mata dengan Alena tapi mencuri-curi lirik jika Alena tidak melihatnya.

"Mau sampaikan kamu, memendam perasaanmu itu?" tanya Kamga ketika Akra keluar dari tempat persembunyiannya.

"Entahlah..." celingak-celinguk mengitari sekitar memastikan Alena tidak akan mendengarkan pembicaraan mereka.

"Kamu masih yakin tidak mau mengatakannya? Kita minggu depan akan pergi. Apa susahnya mengatakan padanya. Kamu begitu mudah berbicara pada wanita-wanita tapi kenapa pada Alena tidak seperti itu?" 

"Aku merasa ia tidak menyukaiku, lihat saja ia selalu berbicara padamu." Gumam Akra. Memainkan tanah dengan kakinya, membentuk sesuatu di sana.

"Kamu tidak akan tahu sampai kamu mengatakannya" ujar Kamga. Melihat sahabatnya itu yang sedang dimabuk asmara.

"Kamu juga tidak tahu bagaimana susahnya mengatakan hal itu?" kata Akra sarkas. "Lihat saja jika kamu nanti melihat wanita yang kamu suka, itupun kalau kamu masih lelaki normal." lanjut Akra.

"Aku lelaki normal." Kata kamga tegas.

"Lalu dari sekian banyak gadis di desa ini bahkan gadis desa tetangga yang menyukaimu. Tidak ada yang menyangkut di hatimu?" tanya Akra serius.

"Sudahlah, jangan membahas ini."

***

Akra berdiri di pohon AkkaZone, menyilangan tangan ke dada, mengusir hawa dingin malam dan rasa gugupnya, menunggu wanita yang sukai. Malam terakhir ia berada di desa Asdetan, Kamga berhasil membuat Akra berani mengungkapkan perasaan. Kamga meminta Alena bertemu Akra dan Alena menyetujuinya.

Dengan berupaya sekuat mungkin Akra mengatakan bahwa ia menyukai Alena, dan itu tidak sia-sia. Ternyata Alena Juga menyukainya. Dan berjanji pada Alena, ia akan kembali ke desa dan menikahi Alena. Alena pun sama, ia juga mengatakan ia akan menunggu Akra hingga waktu itu tiba.


***

Hari yang ditunggu-tunggu tiba, Kamga dan Akra mengecek kembali barang bawaannya. Kamga memastikan buku itu berada di dalam tasnya. Kamga menyalami Ibu Wanda dan Ayah Zou, begitupun Akra. 

"Hai Zelna, aku pergi ya... baik-baik di sini. Jaga ibu dan ayah." Ucap Kamga mengelus lembut rambut Zelna.

"Aku akan merindukanmu" Ungkap Zelna. Memeluk Kamga.

"Aku juga pasti merindukanmu" membalas pelukkan Zelna.

Tanpa diduga oleh Kamga dan Akra, warga desa telah berkumpul di alun-alun, melepaskan kepergian pemuda idola mereka. Tapi Akra tidak melihat Alena di antara kerumanan masa itu. Setelah mengucapkan salam perpisahan Kamga dan Akra menerus perjalanannya mencari orang tua Kamga.

Hingga di ujung desa, Akra melihat wanita yang tadi malam telah resmi menjadi kekasihnya berdiri. 

"Cepat kamu selesaikan urusanmu, jika kita tidak mau terlambat" ucap Kamga. Membiarkan dua sejoli yang sedang terkena virus asmara itu menikmati waktunya. 

Akra tersenyum pada Kamga sebagai ucapan terimakasih atas pengertiannya, lalu berlari kecil menemui kekasih hatinya itu.

"Aku kira kamu tidak mau mengantarkanku atau memberikan salam perpisahan." Ucap Akra. Tegak dengan tegap, di depan Alena. 

"Aku tidak mau mengucapkan perpisahan karena tidak ada perpisahan di antara kita. Hanya jarak jauh." Ucap Alena. Menangak ke atas karena tingginya hanya sebahu Akra. "Bawalah ini sebagai tanda mata dariku juga sebagai pengingatmu bahwa kamu adalah milikiku." Mengulurkan sebuah scraft rajut, berwarna merah marun seperti warna buah apel.

"Kamu tidak perlu melakukan ini, tapi terimakasih." Akra mengambil benda yang disodorkan padanya. "Akan ku jaga ini selalu" lanjut Akra membawa scraft ke dada lalu menghirup bau wangi dari benda itu.

"Hati-hati, lekas lah kembali." Ujar Alena, tertunduk seolah tidak ingin melepas Akra.
  Sepanjang perjalanan Akra selalu mencium scaft rajut, pemberian gadisnya. 

"Sudahlah jangan kamu cium terus itu, tidak akan datang kekasihmu itu." Cibir Kamga.
Akra tidak mengacuh perkataan Kamga. Tahu bahwa Kamga belum terserang namanya asmara.

***

Akra dan Kamga telah mengunjungi beberapa desa tapi belum menemukan petunjuk apapun di mana keberadaan orang tua Kamga. Tiap bertandang ke suatu tempat, jawabannya selalu sama. Tidak ada yang mengenal atau pernah melihat buku itu. Tapi Kamga belum menyerah begitu saja. Semangat di dalam dirinya semakin tinggi. 

Tidak hanya mencari di suatu pulau saja. Kamga dan Akra juga berkunjung dari pulau ke pulau. Lagi-lagi, orang-orang yang mereka temui tidak tahu tentang buku itu. 

Sudah hampir tiga tahun Kamga dan Akra mencari petunjuk ke beradaan orang tua Kamga. Namun hasilnya nol besar. Entah sudah berapa pulau dan desa yang mereka kunjungi. Membuat semangat Kamga mengurang. Tapi itu tidak berlangsung lama.

Persedian air mereka berkurang dan memutuskan berhenti di jembatan depan. Saat mereka sedang mengambil air di sungai, Akra melihat seorang kakek membawa air di kedua tangannya. Akra dan Kamga langsung membantu kakek tua itu. 

"Terimakasih." Ucap Kakek tua. 

Mereka membawa air tersebut ke rumah panggung yang terbuat dari papan.

"Kakek tinggal sendirian?" tanya Kamga. Masih berdiri.

"Tidak, aku bersama cucuku, ia sedang berburu mungkin sebentar lagi pulang." Kata kakek tua. Mempersilahkan dua pemuda tangguh itu duduk.

"Sepertinya aku tidak pernah melihat kalian. Apa ingatanku saja yang mulai berkurang" lanjut kakek tua.

"Kami memang baru pertama kali datang ke desa ini." Jawab Akra.

"Sepertinya kalian adalah seorang petualang" 

"Tidak, kek, kami hanya orang biasa yang sedang mencari orang tuaku, dia sahabatku yang membantuku." Kata kamga.

"Apa yang bisa aku bantu?" tanya Kakek tua.

"Kakek pernah melihat sebuah buku berwarna hitam garis-garis emas?" cecar Akra. Menyuruh Kamga mengeluarkan bukunya. "Seperti ini, kek?" mengambil dari tangan Kamga lalu memperlihatkan pada kakek tua itu.

Akra dan Kamga mendapatkan petunjuk baru dari kakek tua yang mereka temui, Kakek itu mengatakan bahwa ia pernah mendengar percakapan tentang sebuah buku kalau digambarkan sama halnya seperti buku di hadapannya, saat ia masih bekerja di kastel dan selebihnya tidak tahu. Tapi sudah menjadi titik terang bagi Kamga. 

Sebelum hari gelap, Kamga dan Akra pergi ke kastel yang dimaksud kakek. Kastel itu berada di pulau seberang, dan harus melewati sebuah hutan untuk sampai ke kastel tersebut. Berbekal petunjuk dari kakek tua, Kamga dan Akra telah sampai ke pulai tersebut. 

Ketika di dalam hutan mereka memutuskan untuk beristirahat karena hari matahari tidak lagi menyinari bumi di bagian mereka berada. Akra dan Kamga mendirikan tenda, menyalahkan perapian untuk menghangatkan tubuh mereka.

camp fire

Ketika Kamga mencari kayu untuk persedian perapian, Ia mendengarkan suara seseorang meminta tolong di antara suara  dedauan yang tertiup angin, kicauan binatang-binatang hutan sekitar. Kamga berlari ke arah asal suara itu, betapa terkejutnya ia melihat seorang gadis seumuran dengannya jika dilihat dari wajahnya yang jelita itu. Wanita itu, terjebak dalam perangkap, ada darah segar yang keluar dari lengan kirinya.

"Jangan bergerak." Teriak Kamga saat wanita itu berusaha melepaskan diri. Dengan hati-hati Kamga menarik lalu memotong perangkap yang berduri itu, tidak ingin duri di perangkap lebih banyak melukai kulit mulus wanita yang dibantunya.

"Terimakasih, aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak menolongku, mungkin aku sudah menjadi bangsa binatang buas." Ungkap gadis itu, "Siapa namamu?" lanjutnya setelah ia benar-benar berdiri.

"Kamga."

"Aku Khansa, bagaimana aku harus membalas kebaikanmu, Kamga"

"Tidak usah pikirkan itu, ayo... biarku obati lukamu, bermalamlah bersama kami. Besok aku antarkan kamu ke tempat tinggalmu." ajak Kamga seraya berjalan.

Khansa berdiri kaku, mengagumi punggung tegas Kamga di depannya. Tidak menyangka ada lelaki yang tidak terpesona dengan kecantikannya. Mungkin lelaki lain akan meminta aneh-aneh padanya atau malah menjadi ia mangsanya saat di perangkap tadi.

"Apa kakimu masih bisa berjalan?" Kamga berbalik, melihat Khansa tidak mengikutinya. Mendekati Khansa, karena khansa tidak menjawab pertanyaannya.

"Aku masih bisa berjalan." Ujar Khansa saat Kamga hendak menggendongnya.

***

Akra yang sedang merebus air, dikejutkan oleh Kamga yang kembali bersama seorang gadis. 

"Akra, tolong kamu bawa persedian obat-obatan kita?" pinta Kamga lalu bersilakan Khansa duduk di dekat perapian. 

"Lukanya tidak parah." Ujar Akra. Membersihan darah di lengan Khansa.

"Terima kasih." ucap Khansa. Akra membalas dengan sebuah senyuman.

"Kenapa?" tanya Akra. Melihat Khansa terus memperhatikan Kamga yang sedang duduk, menyandarkan punggung ke pohon.

"Dia memang seperti itu?" tanya Khansa.

Akra menceritakan tentang Kamga pada Khansa dan mengombrolkan beberapa hal. Sekali-kali Kamga mendengar tawa mereka.

Kamga membawa tubuhnya mendekat Akra dan Khansa, lalu bertanya, "Kenapa kamu sendirian di hutan ini?"

"Aku sedang ingin sendirian, tapi malah terjebak pada perangkap tadi, kalian berdua kenapa ada di hutan ini?" tanya Khansa balik.

"Kami ingin pergi ke kastel kerajaan di pulau ini. Apa kamu tahu?" sahut Akra.

"Tentu, aku tinggal di kastel." 

"Wah, kebetulan sekali." Ujar Akra.

"Ada apa kalian ingin ke kastel kerajaan Castaluna?" Tanya Khansa.

Kamga pun bercerita tentang pencarian orang tuanya sehingga membawa mereka pergi ke Kerajaan Castaluna. Khansa menjadi pendengar yang baik. Untuk membalas kebaikan dua pemuda yang telah menolongnya, Khansa akan membantu Kamga dan Akra agar bisa masuk ke dalam kastel Kerajaan Castaluna karena tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam kastel tersebut.

***

Keesokkannya Akra dan Kamga telah sampai di kerajaan pada siang hari yang dipandu oleh Khansa. Saat mereka baru tiba di gerbang, Akra dan Kamga dikejutkan oleh perlakuan penjaga gerbang yang begitu mudah membukakan gerbang untuk mereka. Justru Kamga malah menyangka mereka akan masuk ke kastel lewat pintu belakang.

Hingga di dalam Kastel, Akra dan Kamga menyadari bahwa wanita yang ditolong semalam adalah seorang Putri Kerajaan. Para pengawal sangat berterima kasih pada Kamga dan Akra karena telah menyelamatkan Putri Khansa, jika Putri Khansa tidak kembali hingga sore hari para pengawal tersebut akan dihukum sangat berat. 

Kamga dan Akra dibawah ke ruangan khusus tamu kehormatan. Dua pemuda itu disambut sangat suka cita karena telah dianggap pahlawan bagi para pekerja di kerajaan.

Raja Rajwa sangat berterima kasih kepada Kamga dan Akra telah menolong dan membawa Putri Khansa kembali ke Kastel. Untuk itu Raja Rajwa memerintah koki kerajaan menyiapkan makan istimewa karena Raja Rajwa mengajak dua pemuda yang menyelamatkan putrinya untuk makan malam bersama dan membantu pencarian orang tua Kamga setelah mendengar ceritanya dari Putri Khansa.

Berbagai jenis buah-buah tertata sangat baik, aroma semerbak berbagai macam hidangan berjejer di atas meja persegi panjang beserta peralatan makan lainnya, kursi-kursi tersusun rapi.  Di sanalah Kamga dan Akra makan malam bersama Raja Rajwa, Putri Khansa juga ikut serta.

Setelah menyantap hidangan Kamga langsung menanyakan tentang buku peninggalan orang tuanya.

"Itu bukan buku sembarangan, Kerajaanmu  sedang dalam masalah." Ujar  Raja Rajwa.

"Kerajaan? Bagaimana bisa?" tukas Kamga. Apa hubungannya buku dan kerajaan, apa aku berasal bangsa kerajaan?

"Buku ini dinamakan Zakwan, Zakwan dibuat untuk para permaisuri kerajaan. Setiap Zakwan memiliki ciri khas tersendiri yang menunjukan kepribadian dari sang pemilik, jika Zakwan tidak bersama pemiliknya kerajaan itu sedang diterpa masalah dan ingatan(memori) setiap orang yang pernah mengenal kerajaan tersebut akan hilang. Mungkin dulu aku mengenal kerajaanmu sebelum buku itu terlepas dari permaisuri. Tapi jika liontinnya bersama Zakwan, kerajaan itu masih aman hanya saja mereka terisolasi dan dilupakan." Jelas Raja Rajwa.

"Liontin?"

"Iya, apa liontinnya masih bersama Zakwan?" 

"Kakek Hatar tidak pernah memberi tahuku tentang liontin." Ujar Kamga.

Raja Rajwa meminta Zakwan yang dipegang oleh Kamga, membuka dari halaman belakang, dan mengeluarkan sebuah benda dari covernya yang tebal, liontin berbentuk hexagon, di dalamnya terdapat sebuah lambang.

"Liontin ini adalah sebagai kunci gerbang kerajaanmu." Kata Raja Rajwa menyerahkan liontin pada Kamga.

"Tapi bagaimana kami bisa tahu di mana kerajaannya berada?" tanya Kamga.

"Maaf, aku juga tidak tahu." Ucap Raja Rajwa menyesal. 

Akra yang terlihat mengerutkan keningnya, menaruh dua jarinya  ke dahi kiri, memperhatikan liontin tersebut seperti mengenang sesuatu.

"Aku pernah mengenal lambang di liontin ini, lambang sama persis seperti yang aku lihat di portal di hutan pada saat berburu." Ujar Akra.

"Apa kamu serius?" tanya Kamga.

"Tentu, Kamga. Pada saat itu aku pergi sendirian, kamu tidak ikut  berburu karena sedang menemani Kakek Hatar." Jelas Akra.

Kamga dan Akra memutuskan segera pulang ke Desa Asdaten tapi Raja Rajwa meminta mereka untuk bermalam di kastel. 

Singkat cerita Kamga dan Akra telah kembali ke Desa Asdaten. Selain Kamga yang senang telah menemukan titik terang di mana orang tuanya berada, Akra juga bahagia karena ia akan bertemu dengan Alena. Tapi sayang, kebahagian Akra hanya diangan-angan karena Alena mengingkari janjinya. Alena telah menikah dengan lelaki tetangga sebelah, setahun setelah Akra dan Kamga pergi dari desa Asdaten.

Kamga ingin menikmati desa Asdaten terlebih dahulu sebelum pergi ke portal tersebut. Mengenang tempat-tempat ia tumbuh dan berkembang. Hal yang paling ia rindukan adalah menikmati pemandangan langit sore di AkkaZone.

Sementara Akra ingin segera pergi ke portal karena ia tidak ingin melihat Alena. Sakit hatinya ia luapkan dengan berlatih beladiri sepanjang hari. Scarf pemberian Alena telah ia buang, tidak gunanya lagi, melihat scarf marun hanya akan membuat lukanya semakin dalam.

***

20 tahun yang lalu.

Permaisuri Zaira istri dari Raja Egiga dari Kerajaan Cagansi baru saja melahirkan anak kembar seorang putra dan putri yang disambut gembira oleh semua warga. Namun, kebahagian kerajaan Cagansi tidak berlangsung lama. 

Kerajaan kedatangan seorang penyusup yang ingin mencuri bayi yang baru dilahirkan oleh istri Raja Egiga, tapi itu tidak berhasil.

Para pengawal berhasil menangkap penyusup tersebut. Penyusup itu mengaku mendapat perintah dari  Garfan untuk menculik Putra Raja beserta Zakwan. Raja Egiga akhirnya memerintah dukun beranak yang membantu kelahiran putra dan putrinya untuk membawa putranya beserta Zakwan Permaisuri keluar dari kerajaan. Raja Egiga sudah mengira bahwa hal ini akan terjadi. Untuk tidak menambah masalah di kerajaan lebih baik Zakwan itu dibawa bersama putranya. Jika Zakwan itu dapat diambil oleh saudaranya, kerajaan ini akan hancur, lebih baik terisolasi sementara dan Raja Egiga percaya bahwa putranya akan balik membawa Zakwan kembali.

Begitu dukun beranak membawa pangeran keluar, kastel kerajaan tertutup dan semua ingatan orang-orang tentang kerajaan Cagansi hilang termasuk ingatan warganya. Dukun beranak yang membawa  pangeran juga turut mengalami amnesia sehingga hanya meletakkan Putra Raja Egiga di depan rumah salah satu desa yang pertama kali ia kunjungi.

Orang yang mengingat kerajaan Cagansi hanya keluarga kerajaan yang memiliki hubungan darah dan orang-orang di dalam kastel.

***

Kembali ke Kamga dan Akra...

Sinar matahari menerobos dari celah-celah dedauan, suara daun kering yang diinjak, semilir angin yang menerpa wajah, menemani berjalanan Kamga dan Akra menuju portal. 

Mereka telah berjalan lebih dari tiga jam tapi belum mencapai setengah perjalanan tidak seperti perkiraan. Karena semak belukar yang menutupi jalan mereka. 

Lima jam berikutnya Kamga dan Akra telah sampai di portal yang dituju. Tapi mereka dikejutkan oleh seseorang pria seusia dengan Raja Rajwa, berpakaian serba hitam serta semurai menempel di pinggangnya.

"Hai anak muda. Kenapa kalian ke sini?" ujarnya menyeringai.

"Aku mencari orang tuaku" jawab Kamga.

"Oh... jadi kamu selama ini yang aku tunggu." 

"Maksud kamu apa?" tanya Akra tidak suka dengan perlakuan Pria itu.

"Tenanglah" bisik Kamga pada Akra.

"Kenapa anda menungguku, apa anda mengenal orang tuaku?" ujar kamga lembut.

"Betapa sopannya kau sama seperti ayahmu tapi aku tidak suka dengan itu. Cepat kau berikan Zakwan padaku." Pinta pria itu.

"Maaf, aku tidak tahu Zakwan itu apa? Dan aku tidak tahu anda siapa? Jika kau mengenal ayahku bisakah anda beri tahu aku di mana orang tuaku."

"Kau pasti berbohong" teriaknya, "Cepat kau berikan itu padaku"

"Baiklah, tapi beritahu dulu siapa anda?" ucap kamga tetap tenang. 

"Aku Garfan, pamanmu. Orang tuamu telah merampas apa yang seharusnya jadi milikku."

Tanpa disangka oleh Kamga, Akra menyerang Garfan dengan panahnya dan untungnya Garfan bisa menghindar. Garfan pun balik menyerang. Pertempuran terjadi. Dan Garfan berhasil menangkap Akra. Ia melilitkan tangan pada leher Akra.

"Cepat kau berikan Zakwan itu atau sahabatmu ini akan mati." Ancam Garfan.

"Kamga, jangaan." Ujar Akra, dan Garfan mempererat lilitannya.

"Baiklah, akan kuberikan Zakwan padamu tapi kau harus berjanji tidak akan membunuh sahabatku dan membiarkan kami pergi dari sini." Tawar Kamga.

"Aku terima tawaranmu, aku juga tidak mau mengotori tanganku dengan membunuhnya tapi kau berikan dulu Zakwannya"

Kamga mengeluarkan bundalan hitam dari tas nya lalu melembarkan pada Garfan. 

"Kenapa kau berikan Zakwan padanya?" tanya Akra setelah mereka menjauh dari Garfan.

"Tidak akan ku biarkan ia membunuh sahabatku, Akra" jelas Kamga.

"Tapi bagaimana dengan orang tuamu, kerajaanmu. Kamu ini seorang pangeran Kamga" 

"Yang penting keselamatan kamu dulu, nanti kita kembali lagi ke sana." 

"Lalu bagaimana dengan Zakwan nya?" tanya Akra serius.

"Yang aku kasih itu adalah Zakwan yang palsu, Putri Khansa memberikannya padaku untuk jaga-jaga dan Zakwan palsu itu sangat beracun." Jelas kamga

"Jadi itu yang diberikan oleh Putri Khansa di malam terakhir kita di kerajaan Castaluna, aku kira Khansa memberikan tanda mata sama seperti yang dilakukan Alena padaku." Ucap Akra, membuat lukanya terbuka kembali.

Setelah beristirahat, mereka kembali ke portal tersebut dan mendapatkan Garfan terbengkalai di sana. Kamga dan Akra masuk ke dalam Portal, seketika tumbuhan menjalar di gerbang itu bergerak menyerang mereka. Akra dengan sigap menakis sementara Kamga  mencoba membuka gerbang dengan kunci liontin yang terdapat di dalam Zakwan.

Kamga memutar liontin agar sesuai dengan lambang dan bisa masuk, lalu pintu gerbang berlahan bergeser melebar ke kiri kanan, memperlihatkan isi di dalamnya. Sebuah istana yang sangat megah terpampang dengan jelas di mata mereka. Dan tumbuhan tadi berhenti menyerang.

Para pengawal kerajaan segera melaporkan kepada Raja Egiga dan Permaisuri Zaira bahwa gerbang istana telah terbuka kembali setelah duapuluh tahun terkunci. Mendengar kabar baik itu, Raja langsung memerintah ke semua bagian untuk menyambut kedatangan putranya.

Akhirnya Kamga bertemu dengan kedua orang tuanya serta kembarannya, Putri Megan.

Raja Egiga menceritakan saudaranya, Garfan yang telah membuat ia terpisah dari putranya. Garfan tidak terima dengan keputusan orang tuanya yang menjadikan Egiga sebagai pewaris takhta kerajaan ditambah wanita yang ia cintai tidak mencintainya tetapi mencintai saudaranya. Karena keserakahan, iri, dan cemburu  menjadikan Garfan ingin menghancurkan kerajaan yang dipimpin oleh Raja Egiga. 

***
  Di tengah hiruk pikuk di kerajaan, Kamga memergoki kembarannya, Putri Megan sedang menatap  Akra dari jauh. Kamga berdehem, "Ehm". Putri Megan tertunduk malu dan Kamga bisa melihat ada rona merah wajah Putri Megan.

Seminggu dari pertemuan yang mengharukan, Kerajaan Cagansi sedang mempersiapkan perayaan kebangkitan kembali Kerajaan Cagansi. Seluruh warga telah sembuh dari amnesianya dan sangat gembira dengan perayaan itu. Kerajaan Cagansi mengundang seluruh warga dan kerajaan yang pernah bekerja sama.

Pesta di kastel Kerajaan Cagansi sangat meriah karena selain merayakan kembalinya Kerajaan Cagansi, Pangeran Kamga juga mengumumkan pertunangannya dengan Putri Khansa. Seluruh tamu undangan bergemuruh ria.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar