Siapa yang Bersamaku Semalam?



            Terlihat kuat padahal lemah. Aku memandangi mobil yang membawa orang tuaku pergi menjauh. Pertahanan dalam diriku bobol, tanpa aku sadari air mataku telah membasahi pipiku dengan segera aku hapus menggunakan punggung tanganku lalu membalikkan badanku menuju asramaku. Tempat yang asri jika dilihat dari luar, taman yang penuhi bunga-bunga indah yang bermekaran dari sini aku bisa mencium wanginya juga barisan sandal yang berjejeran rapi di sepanjang teras. Berbeda dengan asrama lainnya yang aku perhatikan memiliki sisi magis atau keangkeran. Aku menyusun sandalku di antaranya kemudian melangkah memasuki kamarku yang berada di ujung lorong.

            Ini adalah malam pertamaku berada di asrama sebagai seorang santri. Aku menepati kasur di atas, setiap kamar berisi sepuluh orang yang terdiri dari dua orang senior yang kami bilang sebagai kakak kamar selebihnya anak baru, sama sepertiku. Teman-temanku berasal dari berbagai daerah tapi ada satu temanku yang berasal sama dariku cuma kami beda desa. Desaku dan desanya dipisahkan oleh beberapa desa. Karena berasal dari daerah yang sama, membuat aku lebih dekat dengan Ria dibandingkan dengan yang lain.

            Sudah sebulan aku berada di sini dan beberapa hari terakhir aku mendengar cerita dari teman-temanku mengenai suara tongkat di lorong, suara tangisan bayi atau melihat bayangan putih di depan asrama ketika pulang dari sholat isya. Contohnya sore ini, aku menyandarkan punggung ke salah satu tiang di depan kamar mandi, menunggu giliran mandi.  
            "Nadi, tadi malam kamu dengar suara tongkat kakek-kakek, nggak?" tanya Mira yang sedang mengambil jemurannya.
"Enggak, kenapa? Kamu dengar?" aku menyematkan handukku ke leher karena hampir jatuh.
            "Enggak, katanya anak-anak kamar lima pada dengar, masa kamu nggak dengar? Suaranya lebih kenceng dari sebelumnya. Ria dengar nggak? Kan itu anak paling takut?" Ujar Mira.
            "Dia nggak ada cerita sih, kalau kemarin malam dia dengar. Lagian gua kurang percaya kaya begituan. Kan Ustad bilang kalau itu cuma suara kodok yang melompat di dinding mengelilingi koridor." Jelasku.
Tadi siang, Ustad Muiz bilang itu memang suara kodok tapi hal ini ingin aku buktikan apa benar atau tidak. Jika aku mendengarnya aku akan mencoba melihatnya.
            Sebelum tidur kami sekamar membahas mengenai suara itu, yang ditanggapi oleh Ria, santai. Karena sering mendengar suara itu, membuat Ria biasa saja sementara yang lainnya bergidik dan pada meminta tidur berdua.
            Aku menaiki tangga tempat tidur, lalu membersihkannya dengan selimut. Aku membaca do'a tidur. Aku sudah terbuai mimpi tiba-tiba ada yang menepuk punggungku, oh jangan-jangan ini. Aku mengucek mataku melihat Ria yang memagang gulingnya meminta untuk tidur bersama. Karena masih mengantuk aku iya kan saja ia untuk tidur bersamaku ini pertamanya aku tidur berdua di satu kasur. Baru akan memejamkan mataku kembali, Ria menepuk pundakku.
"Ehm... ehm" ujarku karena sudah mengantuk. aku sudah berusaha untuk tidur kembali. Tapi ketika ia tidak lagi mengguncang badanku, aku mendengarkan suara tongkat itu, ia terasa mulai mendekat, aku berhenti bernafas, ini benar dan nyata.
            "tok.. tok.. tok.."
            Suara itu seperti mengelilingi setiap koridor asrama. Suaranya akan semakin keras jika ketika mendekat koridor di depan kamarku apalagi ranjangku merada tepat di samping dinding koridor. Bulu kuduk merinding, aku tidak berani bergerak dan tidak mau berbalik. Suara itu mendekat lalu menjauh. Aku menghirup aroma tubuhku. Tubuhku bergetar tidak ada keberanianku untuk membuktikan kata-kata guruku tadi siang. Aku merasakan hembusan hangat di belakangku yang aku tafsir itu adalah deru nafas Ria. Aku tidak punya nyali untuk membalikkan badan sama sekali untuk membangunkan Ria, aku hanya berharap suara itu segera lenyap. Meski mataku tertutup tapi aku bisa merasakan lampu di kamarku redup kemudian kembali terang, seperti lampu di diskotik. Terkadang aku juga bisa merasakan seperti ada kilat yang menyambar dan dingin malam mulai menembus dinding hangat selimutku.
            Aku terbangun dari tidurku, dengan tadi malam sudah berusaha keras untuk menghilangkan suara tongkat kakek-kakek itu. Mungkin ada sekitar satu jam badanku berkeringat mendengarkannya dan perasaan takut paling dalam.
            Aku membalikkan tubuhku, tidak aku temukan Ria di sampingku. Mungkin dia sudah bangun dan lagi mengambil wudhu untuk melaksanakan salat subuh berjamaah di mesjid, batinku.
            Kita membentuk lingkaran setiap kali makan, sama seperti sekarang, Sarapan dengan nasi goreng. Ria menyenggol lenganku. "Tadi malam kamu dengar suara tangisan bayi nggak?" tanya Ria.
            "nggak." Ujarku santai.
"tadi malam aku minta tidur sama kamu gara-gara terdengar suara itu tapi kamu nggak mau." Ujar Ria.
            Aku terdiam mendengarkannya, jadi siapa yang bersamaku tadi malam? Batinku. Tapi aku masih berpikir kalau itu hanya candaan dari Ria saja, yang berusaha untuk menakutiku karena selama ini aku yang tidak tertarik untuk membahas masalah yang seperti itu.
            Malam berikutnya aku mengalaminya lagi tapi kali ini berbeda, suara itu berasal dari depan, di teras. Suara semen yang bergesekan dengan sepatu yang terbuat dari semen juga. Kali ini aku tidak tahu harus bagaimana. Dengan segera aku menutupi seluruh tubuhku dengan selimutnya. Dan menutup kedua telingaku dengan bantal. Mulut tidak berhenti melafalkan ayat kursi dan ayat-ayat lainnya yang sudah aku hafal di luar kepala. Tapi suara itu terus saja berbunyi seakan mendekat jendela, seolah ia sedang mengintip. Dengan sisa keberanianku, aku buka mataku dan suara itu menghilang. Oh, apa ini hanya sebuah mimpi?
            Aku turun dari kasurku, menepuk pundak Ria, meminta izin tidur berdua dengannya. Belum sempat Ria membalikkan tubuhnya, sebuah tangan telah menggapai tanganku. Tangan siapa itu? Badanku kaku seolah seperti patung.
            "Tidur di atas saja?" ujar orang yang menepuk pundakku. Dari suaranya aku bisa tau itu adalah Ria. Akhirnya aku memutuskan kembali naik ke ranjangku. Ria sudah berada di sampingku dengan guling kesayangannya.
            Telingaku mengartikan suara hujan yang baru turun, suara petir bergemuruh. Tiba-tiba seseorang di sampingku mencekik leherku, aku tidak berani melihatnya untuk kedua kalinya. Muka yang putih, ada bulat hitam di matanya, dan darah segar mengalir dari sisi kanan pelipisnya. Aku tidak bisa menghirup udara dan juga berteriak. Sama siapa aku tidur? Bukankah tadi Ria bersamaku. Aku merasa ini adalah akhir dari hidupku. Ia melepaskan cengkramannya dari leherku. Aku terengah-engah lalu dengan semampuku berteriak.
            "Aaaaaarghh"
            Aku mengerjap mataku tidak kutemukan makhluk yang mencekikku tadi. Aku menarik kakiku, kemudian memeluk lutut dan kakiku seperti kaki seribu yang tersenggol.
            "Nadira, kamu oke?" tanya Ria memelukku. Setelah aku memastikan itu adalah Ria, aku membalas pelukannya. Ria mencoba menenangkanku. Aku tertidur dalam pelukkan Ria.
            Kini aku sudah berada di tingkat dua yang mana harus berpindah asrama karena asrama ini akan ditempati anak baru. Ada rasa senang akhirnya keluar dari asrama yang menakutkan itu, juga ada sebuah ketakutan baru. Asrama yang aku tepati nanti terlihat lebih angker. Tapi syukurnya setelah beberapa bulan aku tinggal di asrama itu tidak ada kejadian yang menyeramkan bagiku. Tidak ada suara tangisan bayi, tongkat kakek-kakek, ataupun yang lainnya.

            Dulu aku mengira asrama inilah yang paling mencekam tapi tidak, justru asrama  ini adalah asrama paling aman yang pernah aku tempati. Hingga aku menyelesaikan pendidik ku di sini, aku tidak pernah tahu siapa yang tidur denganku dan mencekik leherku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar