Wanita Berjaket Hoodie




Setiap pagi dan sore aku selalu melalui jembatan itu untuk bekerja. Jembatan tempat di mana  pertama kali aku bertemu dengan wanita itu. Jarak rumahku tidak begitu jauh dari kantor hanya melewati 3 kali belokkan, tikungan pertama di komplek rumah kemudian simpang menuju jalan raya yang melewati jembatan lalu bertemu dengan persimpangan pertama setelah jembatan dan di dekat situlah daerah kantorku.
Mentari tersenyum manis dengan menyinari setiap jalan yang aku lalui seolah tahu bahwa hari ini adalah hari rabu. Kenapa dengan hari rabu? Karena aku menanti wanita berjaket hoodie dengan warna yang sama, warna hijau. Aku dayu pedal sepadaku di jalanan komplek yang penuhi berbagai macam bunga. Aku bisa mencium setiap bunga yang aku lewati namun ini akan berakhir jika aku telah sampai pada simpang jalan raya namun pikiranku tentang wanita itu tidak turut berakhir.

Sudah lebih dari sepuluh Rabu aku melihatnya tapi aku belum tau namanya, bagaimana mau namanya siapa? Kita saja belum pernah memulai percakapan. Dia hanya memberikan senyum ketika mata kita saling menatap. Entah mengapa tidak ada keberanian di dalam diriku untuk memulai perbincangan dengannya. Atau aku merasa ia seperti menunggu seseorang dan aku tidak perlu berbicara padanya.
Hari ini aku sudah mengumpulkan keberanianku untuk menyapanya dan menanyakan kenapa tiap rabu sore ia berada di jembatan itu. Keberanian ini muncul sejak aku mulai memikirkannya. Awalnya aku memikirkannya tiap setelah bertemu dengannya tapi belakangan ini setiap kegiatan yang aku lakukan otakku selalu membawahku untuk memikirkannya.
Menunggu waktu malah membuat waktu itu berasa lebih lama dari pada seharusnya dan itu yang sedang aku alami, menunggu waktu pulang dan bertemu wanita berjaket hoodie. Sialnya bosku meminta meeting sore ini dengan klien baru. Aku duduk menghadap barat melihat matahari yang mulai terbenam menanti meeting yang entah kapan dimulainya.
aku mencintai pekerjaanku tapi tidak dengan hari ini, biasanya aku tidak merutuki klien yang dengan mudah meminta meeting dengan seenaknya lalu membatalkan ketika semua sudah siap untuk meeting. Aku bergegas turun, berebutan lift dengan pekerja lainnya.
Aku melaju ingin segera tiba di jembatan, berharap orang yang ingin aku ajak bicara masih di situ. Sepertinya dewi fortuna tidak berpihak padaku, sepedaku menyenggol anak kecil. Ibu anak itu memerahiku, meminta ganti rugi. Walaupun sebenarnya anak itu lah yang menyenggol sepedaku tapi aku tidak mau ribut dengan ibu-ibu aku serahkan kartu namaku.
 "Ibu ini kartu nama saya, maaf saya tidak bisa mengantarkan anak ibu ke klinik karena saya sedang buru-buru. Ibu tinggal hubungi saya nanti, semua ganti rugi dan pengobatan akan saya bayar." Ucapku
"Tidak bisa begitu dong, nanti kalau kamu kabur bagaimana?" gerutu ibu itu.
"Ini KTP saya, ibu bisa menjamin dengan ini." aku menyerahkan kartu identitasku dari dompet.  Dan aku sudah menjadi tonton sekitar. Sebenarnya aku bisa saja memberikan sejumlah uang kepada ibu itu untuk pengobatan anaknya. Lagian anaknya tidak terluka parah hanya tergores sedikit sekali. Tapi sayangnya hari ini aku tidak membawah uang kes. Untuk pergi ATM akan memperlama. Akhirnya ibu anak itu menyetujui.
Aku tidak mensia-siakan waktu lagi. Hingga aku berada di jembatan. Mengurangi kecepatan sepedaku. Aku melihat wanita itu. Dia berjalan ke arahku dengan lesuh, apa mungkin seseorang yang ia tunggu tidak tiba hari ini. Berlahan ia menarik pandangannya dari bawah dan tepat melihat bola mataku. Aku melihat ada sebuah keterkejutan dari matanya juga bagian lainnya menunjuk kelegaan. Seperti biasa ia memberikan senyuman manisnya itu yang membuat aku terhipnotis tiap memandangnya.
Ketika kita berpapasan, semua keberanianku hilang entah pergi kemana. Aku cuma bisa membalas senyumannya saja. Saat jarak kita sudah menjauh, aku berhenti dan membalikkan badanku membiarkan ia pergi, tubuhku hanya berdiri kaku. Aku merutuki diriku sendiri. Apa susahnya sih bilang  "Hai, aku Dion."
 Musnah sudah harapanku hari ini, aku kembali menunggu rabu depan untuk bertemu dengannya.
Rabu berikutnya aku tidak melihatnya. Aku berdiri di mana tempat biasa ia berdiri memandangi matahari terbenam dari jembatan ini, jembatan menghubungkan dua titik tapi apa jembatan ini juga bisa menjadi tempat menghubungkan aku dengan wanita yang memiliki mata almont, rambut hitam legam yang selalu tergerai, dan selalu menggunakan jaket hoodie setiap bertemu denganku, juga wanita yang telah memporak-porandakan pikiran dan perasaanku.
Kenapa gerangan wanita itu tidak datang. Apa ia sakit, apa ia berhenti berharap pada apa yang dia tunggu, atau sudah menemukan apa yang ia tunggu sebelum aku bertemunya terakhir kali.
Hari ini hari minggu masih tiga hari lagi. Weekend ini adalah weekend terpanjang yang aku jalani. Semua berjalan pelan seolah slowmotion. Aku masih bergeleyoran di kasurku. malas melakukan kegiatan, ingin tidur kembali dan bermimpi wanita itu lalu terbangun di rabu sore tapi itu seperti tidak mungkin. Suara teriakan cempreng Alila, keponakanku sudah membuat gendang kepalaku pecah. Oh itu mungkin terlalu berlebihan. Tapi lihat saja sebentar lagi ia akan masuk ke kamarku, menarik bedcover, memukul badanku hingga aku bangun, untung ia menggemaskan kalau tidak mungkin sudah aku lembari bantal.
"Om Yon... Bangun..." teriak Alila.
"Iya, Alila, Om udah bangun." Menyingkap bedcover, lalu membiarkan gadis kecil itu memelukku.
Aku keluar dari kamar, Alila masih dalam pelukanku, menuju meja makan. Ibu dan Kakakku sudah di sana tapi aku tidak melihat suaminya.
"Bang Eko mana, kak?" tanyaku
"Lagi dibengkel" menggeser badannya menghadapku, "Dion, temani Alila ke toko buku ya..." seperti itulah kakakku bukannya meminta tapi memerintah. Bukannya bilang, "Dion bisa temani Alila" atau "Dion, tolong temani Alila ya.." tapi ya sudahlah.
Aku melihat Alila dengan senyuman riangnya yang mempertontonkan gigi kelincinya. Kalau seperti ini mana tega aku menolaknya. Aku pikir tidak apalah, menghabiskan waktuku agar tidak terasa lebih lama.
Alila duduk manis di ranjangku dengan rambut yang sudah terkuncir rapi  ketika aku keluar dari kamar mandi. Aku terpaksa memasang pakaianku di kamar mandi meski Alila belum mengerti tapi tetap saja aku merasa risih.
Alila menarik tanganku, ingin cepet sampai ke toko buku. Aku sengaja ke toko buku yang ada di Mall karena aku lagi pengen roti boy.
Sesampai di toko buku Alila langsung menuju bagian anak-anak mencari buku yang ia inginkan. Menelusuri setiap rak, menemukan buku yang ia mau.
"Sudah ketemu?"
Alila menganggukkan kepalanya pelan. Tanda-tanda ia kurang puas.
"Tapi, boleh nambah lagi gak?" kedua tangan digabungkan seperti memohon, tidak lupa dengan cengirannya yang menggemaskan membuat siapapun pasti mengabulkan permintaannya. Termasuk aku.
"Boleh, tapi cuma dua" ujarku. Ia langsung berhambur ke rak buku yang lainnya.
Aku membiarkan tapi tetap dalam pengawasanku. Ketika aku kembali mengawasi Alila, disaat itu aku mataku bertemu pandang dengan wanita itu. Dia tidak menggunakan jaket hoodie tapi blush putih yang dipadukan celana jins, sangat cocok ditubuhnya ditambah sepatu stiletto yang menghiasi kakinya. Dia terlihat berbeda, lebih feminim dan tetap cantik. Setalah aku mengobservasi, memastikan kalau wanita tersebut adalah wanita berjaket yang  seminggu ini membuatku insomnia karena memikirnya, Dia menyadari kalau ia diperhatikan dan ketika itu matanya menatap mataku. Matanya menunjukkan keterkejutan sama halnya denganku karena tertangkap basa telah memandanginya.
Lidahku keluh untuk mengatakan sesuatu, padahal di kepalaku sudah berkumpul berbagai pertanyaan. Setiap malam aku sudah membayangkan bahkan latihan bagaimana aku memulai perbincangan dengan tapi sayang semua kalimat yang telah aku susun hilang begitu saja. Sepertinya aku sudah terpesona dengan tampilannya dan membuat itu semua kabur dari otakku.
"Hai" hanya itu yang keluar dari pita suaraku
"Hai" balasnya dengan senyuman seperti biasanya itu, tapi sudah tidak menampilkan wajah kagetnya bahkan ia melihatku sudah seperti kawan lama.
"Sendirian aja?" Tanya wanita itu. Mengembalikan kesadaranku yang terpukai olehnya.
"Iya... eh enggak" kataku gugup. Aku menarik nafas lalu kubuang. "maksudku, enggak" lanjutku yang terdengar lebih rileks. Dia hanya tersenyum simpul.
"Kamu sendiri?" tanyaku setelah aku bisa mengendalikan diriku.
"Sendirian" jawabnya.
Tanpa aku sadari, Alila sudah di dekatku dengan 4 buku di tangannya yang mungil. Aku langsung mengambil buku dari tangannya karena tidak tega melihatnya.
"Hai tante, kenalin aku Alila" ujar alila mengenalkan diri. Sekonyong-konyongnya.
"Hai, Alila." Wanita itu mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Nama Onti siapa?" tanya Alila kembali. Gila. Alila dengan mudah menanyakan nama sementara aku dari tadi tidak pernah menanyakan namanya tapi terimasih Alila.
"Dela" wanita itu membelai rambut Alila. Dela, namanya Dela. Aku berdiri hanya menyaksikan dua perempuan ini.
"Alila itu keponakanku" ucapku tegas, tidak ingin menganggap aku sudah punya anak.
"Iya, aku keponakkan Om Yon, Onti" Alila ikut memperjelas. Tapi dia belum tahu namaku. Aku mengulurkan tanganku. Ia terkejut tapi juga ikut mengulurkan tangannya.
"Aku Dion, kita belum kenalan" ucapku menarik kembali tanganku dari tanganya. Itu adalah pertama kali aku bersentuhan langsung dengannya.
"Dela"
"Jadi, Onti Dela bukan pacarnya Om Yon?" kata Alila dengan nada kecewa.
Dela cuma tersenyum, sebelum ia berpamitan aku memintanya untuk bergabung makan siang denganku dan Alila, aku beruntung. Dia menyetujuinya.
Setelah makan siang minggu itu, aku mendapatkan nomornya. Dan tiap rabu sore ia tidak lagi di jembatan itu.
Kita mulai dekat. Aku mengajaknya jalan dan ia menyetujui hingga aku memintanya untuk menjadi pacar ia pun menyetujuinya tapi ada satu hal yang belum aku tanyakan padanya. Kenapa dia tidak lagi ke jembatan rabu sore, kenapa dulu melakukan itu dan ada apa dengan jaket hoodie. Tapi itu tidak penting lagi karena yang penting dia ada di sisiku.
aku ingin menjadikan ia wanitaku seutuhnya. Aku melamarnya. bukan lamaran romantis, aku membawanya ke jembatan itu. Tempat kali pertama kita bertemu.
"Dela, kita nikah yuk" ucapku. Aku tidak bisa merangkai kata-kata romantis, hanya kata itu yang bisa aku ucapkan dengan berupaya susah payah mengucapkanya. Deg-degannya luar biasa.
Wajahnya kaget, lalu senyuman terukir dari bibir tipisnya.
"Yuk"
"Dela, aku serius, kamu yakin?" tanyaku, aku heran kenapa mudah baginya menerimaku.
"Yakin" jawabnya lagi
"Kenapa kamu gak nanya cincinnya?" tanyaku, karena aku belum memberikan cincin lamarannya.
"Lalu kenapa kamu tidak menanyakan kenapa aku dulu tiap rabu sore ke jembatan ini?" tanya Dela balik.
"karena menurut aku itu sudah tidak penting lagi" jawabku tegas. "lalu jawaban kamu?"
"jawab apa?" dengan muka jahilnya.
"kenapa kamu gak nanya cincinya?" aku menatap muka serius.
"oke, oke. Tapi sebelum aku jawab, aku cerita dulu"
"Gak panjangkan?" potongku, karena kalau ia bercerita panjang dan aku suka mendengar suaranya sedang bercerita tapi kali ini aku sedang tidak ingin mendengar ceritanya aku mau jawabannya.
"iya, maka jangan dipotong dulu" ujarnya, "jadi, dulu aku ke jembatan ini, ada seseorang yang membuat aku sadar dan menjalani hidup lagi. Jadi setiap rabu aku selalu ke sini karena aku tahu ia melewati jembatan ini setiap hari dan kenapa aku cuma datang di hari rabu karena aku tidak ingin dia berpikir aku penguntitnya, jadinya tiap sini aku selalu menggunakan jaket hoodie berwarna hijau sebagai penanda buatnya dan berharap ia menyapa tapi ia tidak pernah menyapa hingga aku berhenti datang ke sini. Aku berpikir mungkin ia tidak menganggapku ada, mungkin dia sudah punya orang lain tapi aku berterimakasih padanya karena telah menyadarkan aku"
"kenapa tidak kamu kejar?" tanyaku yang ikut terbawah ceritanya.
"karena aku bertemu lagi dengannya di tempat yang berbeda dan ia mengenaliku"
"terus?"
"Terus apa?"
"Kamu sama dia gimana? Dia udah punya orang lain?"
"kamu belum sadar?" tanya ia balik, meraih tanganku.
"aku berpikir ia sudah punya orang lain karena ketika itu aku bertemu lagi ia bersama anak kecil yang aku kira anaknya dan ternyata itu keponakannya"
Aku mengerti maksudnya sekarang, aku meraihnya, membawah ia kepelukkanku.  Lalu memberikan cincin lamaran.
Itulah wanita berjaket hoodie, wanitaku yang sedang mengandung D (anakku) dalam rahimnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar