Cinta Tidak Berlabuh
Sabtu malam
ini akan sama sepeti malam-malam sebelumnya. Nothing Special. Rupanya
itu hanya ada di pikiranku saja. Kehadirannya telah mengubah Sabtu malam ini
menjadi sesuatu. Sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya.
Sabtu malam
biasanya aku akan pergi ke kafe, menikmati secangkir kopi dan sepiring kentang
goreng bersama Gista tapi sejak dua bulan yang lalu, Sabtu Malam Gista tidak
bisa aku ganggu lagi. Ada seseorang yang memerlukannya untuk menghabiskan waktu
bersama.
Jadi di meja
dua kursi ini aku terdampar seorang diri. Ini bukan kafe tempat biasanya aku
nongkrong. Beberapa Minggu yang lalu aku mendapatkan rekomendasi kafe ini dari
Egi, teman sekantorku. Bukan ide yang buruk juga datang ke sini seorang diri
karena ada kursi barnya jika kita datang sendiri. Tapi entah kenapa aku malah
memilih meja di pojok ini.
Kopi di dalam
cangkirku masih mengepul saat mataku menatap sosoknya yang sedang melangkah
masuk kafe. Aku menantikan seseorang yang akan mengikutinya di belakang tapi
tidak ada orang, tidak mungkin dua remaja yang masuk setelah itu pergi
bersamanya. Aku segera mengalihkan pandanganku sebelum tatapan tajamnya
mengarah padaku. Terlambat, dia telah melihatku. Dari tempat dudukku aku bisa
melihat senyumnya yang mengarah padaku begitu juga dengan langkahnya.
Sudah
terlanjur, aku mau tidak mau aku juga turut memperhatikan penampilannya. Mataku
langsung tertuju pada jari tangannya, tidak ada cincin tanda pengikat hubungan.
Lalu naik ke atas, jam tangan yang sangat aku kenali terbelit manis di tangan
kirinya.
“Hai...”
Satu kata
pembuka yang menjadikan Sabtu Malam ini beda.
Dua tahun
sudah berlalu semenjak aku dan dia memutuskan untuk tidak melanjutkan jalinan
rasa yang kita ciptakan. Kini dia muncul secara tiba-tiba di hadapanku tanpa
memberi aba-aba. Dia telah duduk di depanku sebelum aku mengizinkannya.
“Kamu
sendirian?” Tanya dia.
“Iya.”
Hatiku ingin
berkata tidak tapi bibirku telah terucap. Aku mau menunjukkan padanya bahwa
berpisah dengannya tidak membuat hatiku hancur, memberi tahu bahwa hatiku juga
bisa diisi oleh orang lain tapi nyatanya ruang itu masih dipenuhi oleh
bayangnya. Diperkuat kembali dengan benda yang melingkar di tangannya.
Kenangan itu
masih tersimpan rapi dalam laci memori kepalaku. Ketika pertama kali aku
menghadiahkannya sebuah jam tangan pada ulang tahunnya di awal kebersamaan kita
dulu. Tetap melekat di benakku bagaimana ekspresinya kala itu. Wajah kagetnya
ketika aku memberikan kejutan, senyumnya yang mengembang ketika aku berdiri di tengah-tengah kerumunan
teman-teman dan kerabatnya menantikan dia menghampiriku. Senyuman yang tidak
berubah hingga sekarang.
“Kamu sudah
pesan makan?” tanya dia. Mengembalikan aku pada realita kini.
“Sudah, Kamu
ke sini sendirian?” Memastikan kalau dia tidak bersama yang lain atau menunggu
seseorang.
“Seperti yang
kamu lihat.”
“Nunggu
seseorang?”
Kepalanya
mantap menggeleng.
Apakah
pertemuan ini mengembalikan rasa yang dulu pernah ada? Atau rasa itu masih
menetap dan tidak pernah pergi.
Musik dan
aroma kopi menciptakan atmosfer perbincanganku dengan dia semakin mengalir.
Gelak tawaku tidak bisa kutahan ketika dia melontarkan canda recehnya. Tidak
ada yang berubah darinya selain rambut-rambut halus di pipinya yang ia biarkan
tumbuh. Justru itu membuat dia terlihat sangat laki-laki. Tanpa terasa sudah
dua jam kami mengobrol dan tidak ada pertanyaan tentang siapa pasangan
masing-masing. Aku juga tidak berani mengajukan jika jawaban yang akan aku
terima malah menghancurkan Sabtu malamku ini.
Waktu terus
bergerak yang akan mengakhiri pertemuan ini.
“Aku antarin
kamu, ya.” Ujarnya ketika kita sama-sama melangkah keluar kafe.
“Nggak usah,
aku bawa kendaraan sendiri kok.”
“Tapi ini udah
malam banget, Didi.”
Aku bisa
menangkap nada kecemasan dari suaranya dan satu kata terakhir membuat ruang di
hatiku sulit untuk diisi oleh orang lain. Panggilan yang memiliki sejarah dan
kenangan mendalam bagiku. Meskipun demikian aku tetap menolak diantarkan
olehnya. Aku tetap pulang dengan mobilku. Namun, dia sepertinya tetap teguh
pada pendiriannya. Dari kaca spionku, aku bisa melihat mobilnya terus berada di
belakang mengikuti mobilku.
Di depan
rumahku sudah terparkir sebuah mobil dan di sampingnya berdiri seseorang. Ivan,
teman sekantor yang sudah satu Minggu ini menunggu jawaban dariku. Apa yang
mesti aku lakukan?
***
Cahaya
matahari pagi masuk ke kamarku dari cela-cela jendela. Menyilaukan mataku yang
baru terbuka. Bayangan manusia menyelamatkanku dari kilauan itu. Mama berkacak
pinggang melihatku yang masih mengulet di balik selimut tebal bermotif polkadot.
“Anak gadis
kok baru bangun jam segini” Ujar mama sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku hanya
tersenyum simpul, malas menanggapi lebih jauh.
“Nggak malu
kamu sama nak Ivan yang dari tadi nungguin kamu?”
Ucapan mama
barusan seketika mengembalikan nyawaku seutuhnya. Bagaikan kilat aku langsung
bangkit dari ranjangku.
“Yang Benar,
Ma” Tanyaku.
“Masa mama
bohong sih, Nad.”
Kenapa juga
Ivan harus main ke rumah segala. Pagi-pagi lagi. Aku belum siap menghadapinya.
Aku tidak terlalu yakin dengan keputusanku tadi malam. Mengenalkan Ivan sebagai
pacarku di depan Bima. Aku bisa melihat raut wajah ke duanya yang menampilkan
mimik berlawanan. Kemarahan yang terpancar dari wajah Ivan seketika hilang
ketika dia mendengarkan aku mengatakan bahwa dia adalah pacarku. Namun, berbeda
dengan Bima. Senyum Bima berlahan-lahan menipis lalu tak terlihat lagi. aku
tidak bisa mengartikan maksud dari itu semua.
Aku juga tidak
tahu kenapa bisa aku melakukan hal itu. Apa ada rasa di dalam hatiku yang ingin
menunjukkan pada Bima kalau aku baik-baik saja setelah dia meninggalkanku atau
aku hanya ingin melihat reaksinya seperti apa. Pada akhirnya, keputusan itu
malah menjebakku untuk memainkan sandiwara ini.
“Selamat pagi,
Sayang.” Ucap Ivan tanpa rasa canggung mengatakan kata ‘sayang’.
“Pagi”
Balasku dengan senyum yang aku usahakan
dan melihat sekitar takut ada orang yang mendengar.
“Kenapa?”
“Ehm... Nggak
ada, cuma aneh aja.”
“Boleh dong
panggil sayang sama pacar sendiri,” Ujarnya seraya memberikan sebuket bunga
padaku, “Buat kamu yang sudah mau menerima aku sebagai pacar kamu.”
“Terima kasih,
Van. Tapi kamu tidak perlu repot-repot seperti ini.” Kataku.
“Tidak
merepotkan sama sekali, Nad, justru aku senang bisa melakukan ini pada orang
istimewa, terutama kamu.” Senyumnya belum memudar sejak dia melihatku.
Pernyataan
Ivan semakin membuatku merasa bersalah. Jika seandainya Bima yang melakukan
ini, mungkin aku sudah menghamburkan pelukanku padanya. Namun itu tidak akan
pernah terjadi setelah aku berhasil mengecewakannya kembali.
Beruntung Ivan
tidak terlalu lama sehingga aku tidak perlu memasang wajah palsu.
“Terima kasih
sudah menyempatkan mampir ke rumah, Van.” Ucapku mengantarnya ke depan rumah.
“Dan akan
sering mampir.” katanya dengan kerlingan mata sudah bisa aku baca.
Sebelum Ivan
masuk ke dalam mobilnya, seseorang keluar dari mobil yang baru saja berhenti di
depan pagar rumahku. Gista. Apakah dia melihat aku dan Ivan tadi? Entahlah aku
harap tidak. Gista berjalan dengan muka penuh tanda tanya.
“Hai, Gis.”
Sapa Ivan sambil membuka pintu mobilnya.
Gista
tersenyum lalu mengalihkan pandangan ke padaku. Aku tahu ada satu tugas lagi
yang harus aku kerjakan.
“Nanti aku
jelaskan semuanya.” Cetusku sebelum Gista bertanya-tanya lebih lanjut.
***
Mobil Ivan
manuver di jalanan menuju kantor tempat aku bekerja. Aku duduk manis di samping
pengemudi dan mendengarkan lagu yang mengudara dari radio. Sesekali Ivan
mencuri lirik kepadaku. Sementara aku hanya melihat lurus ke depan,
membayangkan skenario apa lagi yang aku mainkan nanti. Sepuluh menit kemudian kami
sudah sampai di parkiran. Ivan dengan cepat melepas seatbel-nya lalu menatapku sorot keteduhan.
“Nad, Are
you okey?” tanya Ivan, meraih tali seatbel
ku, membantu melepaskan.
“I’m good.”
Ujarku, membalas tatapannya.
Ivan meraih ke
dua tanganku lalu menggenggamnya lembut sehingga aku bisa merasakan getaran
halus yang ia coba salurkan.
“Serius?”
Matanya memandang tepat di mataku. Meneliti kejujuran dari iris mataku.
Aku mencoba
menarik bibirku membentuk sebuah senyuman yang mudah-mudahan ini bisa menyampaikan
pesan tersirat yang tidak bisa aku ucapkan.
“Mungkin ini
masih berat buat kamu.” Katanya lemah.
“Van, maaf
ya...”
“Tidak ada
yang perlu dimaafkan, Nad. Kamu nggak salah, kita coba pelan-pelan ya.” Sorot
matanya tepat di mataku.
Aku mengiakan,
dan kali ini benar-benar jujur. Aku memang sudah seharusnya membuka hatiku dan
mencoba pelan-pelan hubungan ini dengan lelaki paling manis yang pernah aku
kenal.
Aku mengikuti
langkah Ivan ke menuju lift yang akan membawa ke lantai 9 sementara dia ke
lantai 10. Suara Gista yang meneriaki namaku menghentikan langkah kita lalu
berbalik badan ke arah Gista yang berlari kecil.
“Ayo, malah
bengong lagi.” Ujar Gista yang sudah masuk ke dalam lift.
Ivan sama
bingungnya denganku. Lalu dia menggapai tanganku, menarik ke dalam ruang kubus
tersebut. Ini Gista kenapa mesti teriak-teriak sih kalau hanya mau naik lift
bareng.
“Kenapa?”
Tanya Gista seakan tak bersalah, “Nggak boleh ganggu orang yang baru pacaran ya?” lanjut Gista
dengan muka jahilnya.
Aku ingin
membalas Gista balik namun lambaian tangan Pak Edi menghentikan niat amukanku
pada Gista. Bukan hanya itu, seseorang yang bersama Pak Edi juga membuat mata
melotot tidak percaya apa yang aku lihat.
Bima dengan
setelan kemeja biru gelap yang dipadukan celana kaki yang senada membuat setiap
wanita single tidak akan bosan
meliriknya. Wajahnya jauh tampak lebih rapi dengan menghilangkan rambut-rambut
halus di pipinya. Khusus bagian ini aku kecewa sedikit. Ada sebuah gejolak di
dalam dadaku yang ingin meledak sebentar lagi. Secepat mungkin aku meraih
tangan kekar Ivan untuk bertahan agar hal itu terjadi. Aku tahu tatapan Bima
langsung terarah pada tanganku dan Ivan yang terjalin.
Pak Edi
mengenalkan Bima sebagai klien dan menugaskan aku untuk menangani.
“Kebetulan
saya sudah cukup mengenal Nadila dengan baik, Pak” Ujar Bima.
“Bagus kalau
begitu.” Balas Pak Edi sambil tersenyum, mempersilakan kamu keluar tepat ketika
pintu lift terbuka di lantai sembilan.
“Permisi, Pak”
kata Gista. Lebih dulu keluar.
Sebelum keluar
aku sempat menoleh pada Ivan dan tidak bisa mengartikan pandangannya padaku.
“Aku tidak
tahu kalau kamu bekerja sini,” Kata Bima, duduk di depan mejaku, “Kalau kamu
keberatan saya bisa minta Pak Edi untuk menukar.” Lanjutnya.
Ini maunya apa sih? Tadi dengan mudahnya dia
bilang kalau dia cukup mengenalku dan sekarang dia meminta aku diganti. Apa dia
mau menghentikan aku dari pekerjaanku.
“Tidak perlu,”
Ujarku, memposisikan kursiku menghadap Bima, “Saya sangat senang bisa bekerja
sama dengan Pak Bima, semoga kerja sama kita berjalan dengan lancar.”
Aku sengaja
memanggil Bima dengan embel belakang agar terkesan profesional dan dengan
begini semoga hatiku juga bisa profesional juga.
“Saya juga
berharap begitu, Bu Nadila.” Jawabnya. Dia terbawa permainan yang aku gulirkan.
Ada rasa
canggung ketika kita saling menyapa dengan sebutan Ibu dan Bapak selama tiga
puluh menit perbincangan kita. Dan tiga puluh menit itu terasa tiga puluh jam
bagiku. Dari tiap detiknya aku berusaha untuk tetap profesional, mendengarkan
penjelasannya dan otakku berpikir strategi apa yang bagus untuk meningkatkan
usaha yang sedang dia bangun saat ini. Sebagai seorang konsultan sudah
seharusnya aku mendengarkan setiap detail penjelasan dari klien tapi untuk
klien satu ini aku membutuh tenaga lebih ekstra agar tidak terpecahkan
konsentrasiku dari suara dan tatapan matanya.
Selesai juga
pertemuan ini dengan sebuah kesepakatan untuk bertemu kembali lagi Senin depan.
Sangat melegakan sekali ketika punggungnya menjauh dari pandanganku tapi ada
bagian dari diriku yang terbawa pergi bersamanya.
***
Cukup
melelahkan juga untuk memikirkan strategi apa yang bisa aku usulkan untuk
perusahaan Bima. Jelas sekali aku ingin menunjukkan pada Bima Bahwa aku
profesional dan bisa diandalkan olehnya. Tidak terasa waktu berjalan begitu
cepat, jarum pendek jam di meja kerjaku telah mengarah pada angka satu dan
pantesan saja cacing dalam perutku sudah mulai menari-nari.
“Nad, makan
yuk.” kata Gista yang tiba-tiba sudah berada di depan kubikelku.
Tanpa pikir
panjang lagi aku langsung mengiakan dan bergegas berdiri.
“Kamu nggak
ngajak Ivan makan bareng, Nad?” Tanya Gista ketika sampai di lift yang akan
membawa kami ke lantai dasar tempat kafetaria berada.
“Tadi dia
sudah mengajak duluan sih tapi aku bilang duluan aja.”
“Kamu kok jahat
banget sih”
“Jahat
gimana?”
“Ya membiarkan
pacar kamu makan sendiri.” Kata Gista
“Justru aku
baik, Gis. Tidak membiarkan anak orang kelaparan. Daripada dia nungguin aku lebih baik makan duluan
saja.”
“Ya baru
pacaran itu harusnya lagi mesra-mesraan gitu loh. Lah ini pacarnya dibiarkan
makan sendiri. Nggak kasihan apa yang sudah lama menunggu jawaban eh setelah
diterima makan siangnya tetap sendiri.”
“Eh, nggak
usah ceramah gitu. mentang-mentang baru pacaran dua bulan aja sudah belagu”
kataku.
Sampai di
kafetaria aku dikejutkan dengan pemandangan yang tidak biasa. Ivan dan Bima
berada satu meja. Mereka terlihat sangat akrab sekali seolah teman lama yang
baru berjumpa kembali. Tatapan Ivan menahanku untuk memutar balik. Dia juga
turut melampaikan tangan untuk aku ikut bergabung dengannya. Kakiku tetap
melangkah padanya mesti dengan enggan. Sementara Gista melipir pergi ke meja
Hendra di pojokkan.
“Pak Bima,
kenapa tidak bilang kalau mau ke kantor. Bukankah janji temu kita berikutnya
senin pagi ya?” tanyaku ketika dekat mejanya.
“Kebetulan
lewat sini tadi. Kemarin kamu juga bilang kalau menu di kafetaria di sini enak.
Jadi penasaran mau coba.”
Aku tidak
seratus persen percaya dengan perkataannya. Seorang Bima bukanlah penggila
makanan. Buat apa dia mau mencoba makanan di kafetaria ini dan sekarang malah
bersama Ivan. Entah apa maksudnya.
“Jadi besok
jam 8 ya, Didi?” Tanyanya.
“Iya, Pak.”
“Oke, saya
duluan ya, Van.” Ujarnya bangkit.
“Kok cepat
banget, Pak?” kataku.
“Makannya udah
selesai, lagian enggak enak mau ganggu kamu sama Ivan.” Katanya sambil melirik
Ivan. Apa coba maksudnya itu.
“Nggak ganggu
kok.” Responku cepat.
“Santai aja
dong, Didi. aku juga mau menghabiskan waktu sama kamu tapi aku ada meeting sebentar
lagi.” jawabnya santai.
Entah apalah maksudnya
dari semua perkataannya. Tadi bilang tidak mau mengganggu aku dengan Ivan tapi
dia malah berbicara seperti itu seolah Ivan tidak ada di sana.
“Kamu kok
panggil dia dengan embel Bapak sih?” tanya Ivan setelah Bima tidak terlihat
lagi.
“Biar profesional
saja.”
“Kamu takut ya
kalau aku tahu kamu masih cinta sama dia?”
“Maksud kamu
apa, Van?”
“Dia bilang
kalau kamu mantan pacarnya.”
Aku tersentak,
tidak menyangka Bima akan mengatakan itu pada Ivan. Dan memang tidak ada
salahnya dan sudah seharusnya aku mengantisipasi hal ini dengan memberi tahu
Ivan lebih dulu.
“Van, maaf
kalau aku belum bilang sama kamu,” ujarku, “sebetulnya aku mau bilang sama
kamu.”
“Kapan kamu
mau bilang, Nad?”
Aku diam
karena aku tidak tahu jawabannya.
“Nadila, aku
sayang banget sama kamu tapi aku tidak bisa lihat kamu menderita juga.”
“Maksud kamu
apa, Van? Aku bahagia kok sama kamu.”
Jelas perkataan ini bohong.
“Nadila aku
kecewa sama kamu. Tidak masalah bagiku kalau kamu punya mantan tapi aku tidak
bisa terima kalau kamu masih sayang sama mantan kamu dan sudah menerima aku.”
Aku tertunduk.
Di sini memang aku yang salah. Aku yang memulai sandiwara ini.
“Nad.”
Panggilnya.
“Iya.”
“Aku
melepaskanmu.”
“Tapi, Van,”
“Tidak ada
tapi-tapi, Nad. Kejar dia kembali.”
“Van, kamu
ngomong apa sih. Aku sama Bima itu sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi.”
“Nadila,
dengerin aku, ya. Kamu itu masih cinta sama dia. Kalau tidak kamu akan panggil
dia dengan sebutan nama tanpa Bapak.”
“Oke, kalau
begitu aku akan panggil dia dengan namanya saja.” kataku.
“Nad. Sudah
ya.”
“Tapi, Van.”
“Nanti kita
bicarakan lagi.” kata Ivan meninggalkan aku sendiri.
Selera makanku
hilang.
Sebelum jam
pulang kantor aku sudah menghampiri kubikel Ivan. Aku harus segera
menyelesaikan hal ini. kalau memang mau selesai sandiwara ini. Ivan dengan
sigap berdiri ketika aku berdiri di sampingnya.
“Nadila.”
Panggil Ivan ketika kami sudah di mobilnya.
“Ivan, aku mau
minta maaf karena tidak bilang sama kamu. Kalau kamu mau menyudahi hubungan ini
aku terima.”
“Aku tidak
akan terima ini, Nad, kalau seandainya tatapan mata kamu ke Bima tidak seperti
itu.”
“Lalu sekarang
kita?”
“Selesaikan
apa yang harus kamu selesaikan, Nad.”
“Van, maafin
aku, Ya.”
Aku tidak
sanggup lagi menatap seorang Ivan Triadi yang selalu baik padaku. Maafkan aku
harus menjadikan kamu seperti ini.
Beberapa hari
telah berlalu namun kehadiran Bima di kepalaku tergeser oleh Ivan. Entah apa
maksud dari semua ini. hubungan pekerjaanku dengan Bima berjalan dengan sangat
baik. Bahkan hal yang seharusnya aku selesaikan dari dulu sudah tuntas. Tidak
ada lagi penghalangku untuk bisa terus bergerak. Tapi sayang orang yang mau aku
ajak bersama tidak lagi ingin bersamaku.
Mungkin ini
bukan waktunya aku untuk memilih siapa yang menjadi pendampingku. Tapi aku
memutuskan apa yang aku rasakan. Berdamai dengan diri sendiri. Mencintai orang
yang seharusnya aku cintai lebih dalam dari yang lain. Mencintai diriku
sendiri. Melabuhkan cinta untuk diriku sendiri.
Tamat.
Catatan
penulis.
Cerpen ini
membutuhkan kritik dan saran dari kalian semua.
Penulis sama
sekali tidak keberatan kalau ada di antara kalian yang mau membagi cerpen ini
dengan syarat namanya dicantumkan.
Terima kasih
telah mau membaca cerita singkat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar